Wednesday 18 February 2009

ANAK-ANAK KARBITAN

Rating:★★★★
Category:Other
ANAK-ANAK KARBITAN
Oleh Dewi Utama Faizah*)

*) Dewi Utama Faizah, bekerja di Direktorat pendidikan TK dan SD Ditjen
Dikdasmen, Depdiknas, Program Director untuk Institut Pengembangan
Pendidikan Karakter divisi dari Indonesia Heritage Foundation.

Anak-anak yang digegas
Menjadi cepat mekar
Cepat matang
Cepat layu...

Pendidikan bagi anak usia dini sekarang tengah marak-maraknya. Dimana
mana orangtua merasakan pentingnya mendidik anak melalui lembaga
persekolahan yang ada. Mereka pun berlomba untuk memberikan anak-anak
mereka pelayanan pendidikan yang baik. Taman kanak-kanak pun berdiri
dengan berbagai rupa, di kota hingga ke desa. Kursus-kursus kilat untuk
anak-anak pun juga bertaburan di berbagai tempat. Tawaran berbagai macam bentuk pendidikan ini amat beragam. Mulai dari yang puluhan ribu hingga jutaan
rupiah per bulannya. Dari kursus yang dapat membuat otak anak cerdas
dan pintar berhitung, cakap berbagai bahasa, hingga fisik kuat
dan sehat melalui kegiatan menari, main musik dan berenang. Dunia
pendidikan saat ini betul-betul penuh dengan denyut kegairahan. Penuh
tawaran yang menggiurkan yang terkadang menguras isi kantung orangtua
...

Captive market I
Kondisi diatas terlihat biasa saja bagi orang awam. Namun apabila kita
amati lebih cermat, dan kita baca berbagai informasi di intenet dan
lileratur yang ada tentang bagaimana pendidikan yang patut bagi anak
usia dini, maka kita akan terkejut! Saat ini hampir sebagian besar
penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak usia dini melakukan kesalahan.
Disamping ketidakpatutan yang dilakukan oleh orang tua akibat
ketidaktahuannya!

Anak-Anak Yang Digegas...
Ada beberapa indikator untuk melihat berbagai ketidakpatutan terhadap
anak. Diantaranya yang paling menonjol adalah orientasi pada kemampuan
intelektual secara dini. Akibatnya bermunculanlah anak-anak ajaib dengan
kepintaran intelektual luar biasa. Mereka dicoba untuk menjalani
akselerasi dalam pendidikannya dengan memperoleh pengayaan
kecakapan-kecakapan akademik dl dalam dan di luar sekolah.

Kasus yang pernah dimuat tentang kisah seorang anak pintar karbitan ini
terjadi pada tahun 1930, seperti yang dimuat majalah New Yorker. Terjadi
pada seorang anak yang bernama William James Sidis, putra seorang
psikiater. Kecerdasan otaknya membuat anak itu segera masuk Harvard
College walaupun usianya masih 11tahun. Kecerdasannya di bidang
matematika begitu mengesankan banyak orang. Prestasinya sebagai anak
jenius menghiasi berbagai media masa. Namun apa yang terjadi kemudian ?
James Thurber seorang wartawan terkemuka. pada suatu hari menemukan
seorang pemulung mobil tua, yang tak lain adalah William James Sidis. Si
anak ajaib yang begitu dibanggakan dan membuat orang banyak berdecak
kagum pada beberapa waktu silam.

Kisah lain tentang kehebatan kognitif yang diberdayakan juga terjadi
pada seorang anak perempuan bernama Edith. Terjadi pada tahun 1952,
dimana seorang Ibu yang bemama Aaron Stern telah berhasil melakukan
eksperimen menyiapkan lingkungan yang sangat menstimulasi perkembangan
kognitif anaknya sejak si anak masih benapa janin. Baru saja bayi itu
lahir ibunya telah memperdengarkan suara musik klasik di telinga sang
bayi. Kemudian diajak berbicara dengan menggunakan bahasa orang dewasa.
Setiap saat sang bayi dikenalkan kartu-kartu bergambar dan kosa kata
baru. Hasilnya sungguh mencengangkan! Di usia 1 tahun Edith telah dapat
berbicara dengan kalimat sempurna. Di usia 5 tahun Edith telah
menyelesaikan membaca ensiklopedi Britannica. Usia 6 tahun ia membaca
enam buah buku dan Koran New York Times setiap harinya. Usia 12 tahun
dia masuk universitas. Ketika usianya menginjak 15 lahun la
menjadi guru matematika di Michigan State University . Aaron Stem berhasil menjadikan
Edith anak jenius karena terkait dengan kapasitas otak yang sangat tak
berhingga. Namun khabar Edith selanjutnya juga tidak terdengar lagi
ketika ia dewasa. Banyak kesuksesan yang diraih anak saat ia menjadi
anak, tidak menjadi sesuatu yang bemakna dalam kehidupan anak ketika ia
menjadi manusia dewasa.

Berbeda dengan banyak kasus legendaris orang-orang terkenal yang
berhasil mengguncang dunia dengan penemuannya. Di saat mereka kecil
mereka hanyalah anak-anak biasa yang terkadang juga dilabel sebagai
murid yang dungu. Seperti halnya Einsten yang mengalami kesulitan
belajar hingga kelas 3 SD. Dia dicap sebagai anak bebal yang suka
melamun. Selama berpuluh-puluh tahun orang begitu yakin bahwa
keberhasilan anak di masa depan sangat ditentukan oleh faktor kogtutif.
Otak memang memiliki kemampuan luar biasa yang tiada berhingga.
Oleh karena itu banyak orangtua dan para pendidik tergoda untuk melakukan
"Early Childhood Training". Era pemberdayaan otak mencapai masa
keemasannya. Setiap orangtua dan pendidik berlomba-lomba menjadikan
anak-anak mereka menjadi anak-anak yang super (Superkids). Kurikulum pun dikemas
dengan muatan 90 % bermuatan kognitif yang mengfungsikan belahan otak
kiri. Sementara fungsi belahan otak kanan hanya mendapat porsi 10%
saja. Ketidakseimbangan dalam memfungsikan ke dua belahan otak dalam
proses pendidikan di sekolah sangat mencolok. Hal ini terjadi sekarang
dimana-mana, di Indonesia... .

"Early Ripe, early Rot...!"
Gejala ketidakpatutan dalam mendidik ini mulai terlihat pada tahun 1960 di Amerika. Saat orangtua dan para professional merasakan pentingnya
pendidikan bagi anak-anak semenjak usia dini. Orangtua merasa apabila mereka tidak segera mengajarkan anak-anak mereka berhitung, membaca dan menulis sejak dini maka mereka akan kehilangan "peluang emas" bagi anak-anak mereka selanjutnya. Mereka memasukkan anak-anak mereka
sesegera mungkin ke Taman Kanak¬Kanak (Pra Sekolah). Taman Kanak-kanak pun dengan senang hati menerima anak-anak yang masih berusia di bawah usia
4 tahun. Kepada anak-anak ini gurunya membelajarkan membaca dan berhitung secara formal sebagai pemula.

Terjadinya kemajuan radikal dalam pendidikan usia dini di Amerika sudah
dirasakan saat Rusia meluncurkan Sputnik pada tahun 1957. Mulailah "Era Headstart" merancah dunia pendidikan. Para akademisi begitu optimis
untuk membelajarkan wins dan matematika kepada anak sebanyak dan sebisa mereka (tiada berhingga). Sementara mereka tidak tahu banyak tentang
anak, apa yang mereka butuhkan dan inginkan sebagai anak. Puncak keoptimisan era Headstart diakhiri dengan pernyataan Jerome Bruner,
seorang psikolog dari Harvard University yang menulis sebuah buku terkenal " The Process of Education" pada lahun 1960, la menyatakan
bahwa kompetensi anak untuk belajar sangat tidak berhingga. Inilah buku suci pendidikan yang mereformasi kurikulum pendidikan di Amerika. "We
begin with the hypothesis that any subject can be taught effectively in some intellectually honest way to any child at any stage of development" .
Inilah kalimat yang merupakan hipotesis Bruner yang di salah artikan oleh banyak pendidik, yang akhirnya menjadi bencana! Pendidikan dilaksanakan
dengan cara memaksa otak kiri anak sehingga membuat mereka cepat matang dan cepat busuk...

early ripe, early rot!
Anak-anak menjadi tertekan. Mulai dari tingkat pra sekolah hingga usia SD. Di rumah para orangtua kemudian juga melakukan hal yang sama, yaitu
mengajarkan sedini mungkin anak-anak mereka membaca ketika Glenn Doman menuliskan kiat-kiat praktis membelajarkan bayi membaca. Bencana
berikutnya datang saat Arnold Gesell memaparkan konsep "kesiapan-readiness " dalam ilmu psikologi perkembangan temuannya yang
mendapat banyak decakan kagum. Ia berpendapat tentang "biological limitations on learning'. Untuk itu ia menekankan perlunya dilakukan
intervensi dini dan rangsangan inlelektual dini kepada anak agar mereka segera siap belajar apapun.

Tekanan
yang bertubi-tubi dalam memperoleh kecakapan akademik di sekolah membuat anak-¬anak menjadi cepat mekar. Anak-anak menjadi "miniature
orang dewasa ". Lihatlah sekarang, anak-anak itu juga bertingkah polah sebagaimana layaknya orang dewasa. Mereka berpakaian seperti orang
dewasa, berlaku pun juga seperti orang dewasa. Di sisi lain media pun merangsang anak untuk cepat mekar terkait dengan musik, buku, film,
televisi, dan internet. Lihatlah maraknya program teve yang belum pantas ditonton anak-anak yang ditayangkan di pagi atau pun sore hari. Media
begitu merangsang keingintahuan anak tentang dunia seputar orang dewasa sebagai seksual promosi yang menyesatkan. Pendek kata media telah
memekarkan bahasa, berpikir dan perilaku anak lumbuh kembang secara cepat.

Tapi apakah kita tahu bagaimana tentang emosi dan perasaan anak? Apakah faktor emosi dan perasaan juga dapat digegas untuk dimekarkan seperti
halnya kecerdasan? Perasaan dan emosi ternyata memiliki waktu dan ritmenya sendiri yang tidak dapat digegas atau dikarbit. Bisa saja anak
terlihat berpenampilan sebagai layaknya orang dewasa, tetapi perasaan mereka tidak seperti orang dewasa. Anak-anak memang terlihat tumbuh
cepat di berbagai hal tetapi tidak di semua hal. Tumbuh mekarnya emosi sangat berbeda dengan tumbuh mekarnya kecerdasan (intelektual) anak.
Oleh karena perkembangan emosi lebih rumit dan sukar, terkait dengan berbagai keadaan, Cobalah perhatikan, khususnva saat perilaku anak
menampilkan gaya "kedewasaan ", sementara perasaannya menangis berteriak sebagai "anak".

Seperti sebuah lagu popular yang pernah dinyanyikan suara emas seorang anak laki-laki "Heintje" di era tahun 70-an... :
I'm Nobody'S Child
I'M NOBODY'S CHILD
I'M nobody's child I'm nobodys child
Just like a flower I'm growing wild
No mommies kisses
and no daddy's smile
Nobody's touch me I'm nobody's child

Dampak Berikutnya Terjadi... ketika anak memasuki usia remaja.
Akibat negatif lainnya dari anak-anak karbitan terlihat ketika ia memasuki usia remaja. Mereka tidak segan-segan mempertontonkan berbagai macam perilaku
yang tidak patut. Patricia 0' Brien menamakannya sebagai "The Shrinking of Childhood'.

"Lu belum tahu ya... bahwa gue telah melakukan segalanya", begitu pengakuan seorang remaja pria berusia 12 tahun kepada teman temannya.
"Gue tahu apa itu minuman keras, drug, dan seks " serunya bangga.

Berbagai kasus yang terjadi pada anak-anak karbitan memperlihatkan
bagaimana pengaruh tekanan dini pada anak akan menyebabkan berbagai
gangguan kepribadian dan emosi pada anak. Oleh karena ketika semua
menjadi cepat mekar.... kebutuhan emosi dan sosial anak jadi tak
dipedulikan! Sementara anak sendiri membutuhkan waktu untuk tumbuh,
untuk belajar dan untuk berkembang, .... sebuah proses dalam
kehidupannya !

Saat ini terlihat kecenderungan keluarga muda lapisan menengah ke atas yang berkarier di luar rumah tidak memiliki waktu banyak dengan
anak-anak mereka. Atau pun jika si ibu berkarier di dalam rumah, ia lebih mengandalkan tenaga "baby sitter" sebagai pengasuh anak-anaknya. Colette Dowling menamakan ibu-ibu muda kelompok ini sebagai "Cinderella Syndrome" yang senang window shopping, ikut arisan, ke salon memanjakan diri, atau menonton telenovela atau buku romantis. Sebagai bentuk ilusi rnenghindari kehidupan nyata vang mereka jalani. Kelompok ini akan
sangat bangga jika anak-anak mereka bersekolah di lembaga pendidikan yang mahal, ikut berbagai kegiatan kurikuler, ikut berbagai Ies, dan mengikuti berbagai
arena, seperti lomba penyanyi cilik, lomba model ini dan itu. Para orangtua ini juga sangat bangga jika anak-anak mereka superior di segala
bidang, bukan hanya di sekolah. Sementara orangtua yang sibuk juga mewakilkan diri mereka kepada babysitter terhadap pengasuhan dan
pendidikan anak¬-anak mereka. Tidak jarang para baby sitter ini mengikuti pendidikan parenting di Iembaga pendidikan eksekutif sebagai
wakil dari orang tua.

ERA SUPERKIDS
Kecenderungan orangtua menjadikan anaknya "be special " daripada "be average or normal sernakin marak terlihat. Orangtua sangat ingin
anak-anak mereka menjadi "to exel to be the best". Sebetulnya tidak ada yang salah. Namun ketika anak-anak mereka digegas untuk mulai mengikuti
berbagai kepentingan orangtua untuk menyuruh anak mereka mengikuti beragam kegiatan, seperti kegiatan mental aritmatik, sempoa, renang,
basket, balet, tari ball, piano, biola, melukis, dan banyak lagi lainnya...maka lahirlah anak-anak super---"SUPERKIDS' ". Cost merawat
anak superkids ini sangat mahal.

Era Superkids berorientasi kepada "Competent Child". Orangtua saling berkompetisi dalam mendidik anak karena mereka percaya "earlier is
better". Semakin dini dan cepat dalam menginvestasikan beragam pengetahuan ke dalam diri anak mereka, maka itu akan semakin baik. Neil
Posmant seorang sosiolog Amerika pada tahun 80-an meramalkan bahwa jika anak-anak tercabut dari masa kanak-kanaknya, maka lihatlah...ketika
anak-anak itu menjadi dewasa, maka ia akan menjadi orang dewasa yang kekanak-kanakan!

BERBAGAI GAYA ORANGTUA
Kondisi ketidakpatutan dalam memperIakukan anak ini telah melahirkan berbagai gaya orangtua (Parenting Style) yang melakukan
kesalahan "miseducation" terhadap pengasuhan pendidikan anak-anaknya. Elkind (1989) mengelompokkan berbagai gaya orangtua dalam pengasuhan,
antara lain:

Gourmet Parents-- (ORTU B0RJU)
Mereka adalah kelompok pasangan muda yang sukses. Memiliki rumah bagus,
mobil mewah, liburan ke tempat-tempat yang eksotis di dunia, dengan gaya
hidup kebarat-baratan. Apabila menjadi orangtua maka mereka akan
cenderung merawat anak-anaknya seperti halnya merawat karier dan harta
mereka. Penuh dengan ambisi! Berbagai macam buku akan dibaca karena
ingin tahu isu-isu mutakhir tentang cara mengasuh anak. Mereka sangat
percaya bahwa tugas pengasuhan yang baik seperti halnya membangun
karier, maka "superkids" merupakan bukti dari kehebatan mereka sebagai
orangtua.

Orangtua kelompok ini memakaikan anak-anaknva baju-baju mahal bermerek
terkenal, memasukkannya ke dalam program-program eksklusif yang
prestisius. Keluar masuk restoran mahal. Usia 3 tahun anak-anak mereka
sudah diajak tamasya keliling dunia mendampingi orangtuanya. Jika suatu
saat kita melihat sebuah sekolah yang halaman parkirnya dipenuhi oleh
berbagai merek mobil terkenal, maka itulah sekolah dimana banyak
kelompok orangtua "gourmet " atau kelompok borju menyekolahkan
anak-anaknya.

College Degree Parents --- (ORTU INTELEK)
Kelompok ini merupakan bentuk lain dari keluarga intelek yang menengah
ke atas. Mereka sangat peduli dengan pendidikan anak-anaknya. Sering
melibatkan diri dalam berbagai kegiatan di sekolah anaknya. Misalnya
membantu membuat majalah dinding, dan kegiatan ekstra kurikuler lainnya.
Mereka percaya pendidikan yang baik merupakan pondasi dari kesuksesan
hidup. Terkadang mereka juga tergiur menjadikan anak-anak mereka
"Superkids". Apabila si anak memperlihatkan kemampuan akademik yang
tinggi. Terkadang mereka juga memasukkan anak-anaknya ke sekolah
mahal yang prestisius sebagai bukti bahwa mereka mampu dan percaya bahwa
pendidikan yang baik tentu juga harus dibayar dengan pantas. Kelebihan
kelompok ini adalah sangat peduli dan kritis terhadap kurikulum yang
dilaksanakan di sekolah anak anaknya. Dan dalam banyak hal mereka banyak
membantu dan peduli dengan kondisi sekolah,

Gold Medal Parents --(ORTU SELEBRITIS)
Kelompok ini adalah kelompok orangtua yang menginginkan anak-anaknya
menjadi kompetitor dalam berbagai gelanggang. Mereka sering mengikutkan
anaknya ke berbagai kompetisi dan gelanggang. Ada gelanggang ilmu
pengetahuan seperti Olimpiade matematika dan sains yang akhir-akhir ini
lagi marak di Indonesia . Ada juga gelanggang seni seperti ikut
menyanyi, kontes menari, terkadang kontes kecantikan. Berbagai cara akan
mereka tempuh agar anak-anaknya dapat meraih kemenangan dan menjadi
"seorang Bintang Sejati ". Sejak dini mereka persiapkan anak-anak
mereka menjadi "Sang Juara", mulai dari juara renang, menyanyi dan melukis
hingga none abang cilik kelika anak-anak mereka masih berusia TK.
Sebagai ilustrasi dalam sebuah arena lomba ratu cilik di Padang ..
Puluhan anak-anak TK baik laki-laki maupun perempuan tengah menunggu di
mulainya lomba pakaian adat. Ruangan yang sesak, penuh asap rokok, dan
acara yang molor menunggu datangnya tokoh anak dari Jakarta . Anak-anak
mulai resah, berkeringat, mata memerah karena keringat melelehi mascara
mata kecil mereka. Para orangtua masih bersemangat, membujuk
anak-anaknya bersabar. Mengharapkan acara segera dimulai dan anaknya
akan keluar sebagai pemenang. Sementara pihak penyelenggara mengusir
panas dengan berkipas kertas.

Banyak kasus yang mengenaskan menimpa diri anak akibat perilaku ambisi
kelompok gold medal parents ini. Sebagai contoh pada tahun 70-an seorang
gadis kecil pesenam usia TK rnengalami kelainan tulang
akibat ambisi ayahnya yang guru olahraga. Atau kasus "bintang cilik" Yoan Tanamal yang
mengalami tekanan hidup dari dunia glamour masa kanak-kanaknya. Kemudian
menjadikannya pengguna dan pengedar narkoba hingga menjadi penghuni
penjara. Atau bintang cilik dunia Heintje yang setelah dewasa hanya
menjadi pasien dokter jiwa. Gold medal parent menimbulkan banyak bencana
pada anak-anak mereka!

Pada tanggal 26 Mei lalu kita sasikan di TV bagaimana bintang cilik
"Joshua" yang bintangnya mulai meredup dan mengkhawatirkan orangtuanya.
Orangtua Joshua berambisi untuk kembali menjadikan anaknya seorang
bintang dengan kembali menggelar konser tunggal. Sebagian dari kita
tentu masih ingat bagaimana lucu dan pintarnya. Joshua ketika berumur
kurang 3 tahun. Dia muncul di TV sebagai anak ajaib karena dapat
menghapal puluhan nama-nama kepala negara. Kemudian di usia balitanya
dia menjadi penyanyi cilik terkenal. Kita kagum bagaimana seorang bapak
yang tamatan SMU dan bekerja di salon dapat membentuk dan menjadikan
anaknya seorang "superkid "--seorang penyanyi sekaligus seorang bintang
film,....

Do-it Yourself Parents
Merupakan kelompok orangtua yang mengasuh anak-anaknya secara alami dan
menyatu dengan semesta. Mereka sering menjadi pelayanan professional di
bidang sosial dan kesehatan, sebagai pekerja sosial di sekolah, di
tempat ibadah., di Posyandu dan di perpustakaan. Kelompok ini
menyekolahkan anak-anaknya di sekolah negeri yang tidak begitu mahal dan
sesuai dengan keuangan mereka. Walaupun begitu kelompok ini juga bemimpi
untuk menjadikan anak-anaknya "Superkids"- -earlier is better". Dalam
kehidupan sehari-hari anak-anak mereka diajak mencintai lingkungannya.
Mereka juga mengajarkan merawat dan memelihara hewan atau tumbuhan yang
mereka sukai. Kelompok ini merupakan kelompok penyayang binatang dan
mencintai lingkungan hidup yang bersih.

Outward Bound Parents--- (ORTU PARANOID)
Untuk orangtua kelompok ini mereka memprioritaskan pendidikan yang dapat
memberi kenyamanan dan keselamatan kepada anak-anaknya. Tujuan mereka
sederhana, agar anak-anak dapat bertahan di dunia yang penuh dengan
permusuhan. Dunia di luar keluarga mereka dianggap penuh dengan
marabahaya. Jika mereka menyekolahkan anak-anaknya maka mereka Iebih
memilih sekolah yang nyaman dan tidak melewati tempat-tempat tawuran
yang berbahaya. Seperti halnya Do It Yourself Parents, kelompok ini
secara tak disengaja juga terkadang terpengaruh dan menerima konsep
"Superkids " Mereka mengharapkan anak-anaknya menjadi anak-anak yang
hebat agar dapat melindungi diri mereka dari berbagai macam marabahaya. Terkadang
mereka melatih kecakapan melindungi diri dari bahaya, seperti memasukkan
anak-anaknya "Karate, Yudo, pencak Silat" sejak dini.
Ketidakpatutan pemikiran kelompok ini dalam mendidik anak-anaknya adalah bahwa mereka terlalu berlebihan melihat marabahaya di luar rumah tangga mereka, mudah panik dan ketakutan melihat situasi yang selalu mereka pikir akan
membawa dampak buruk kepada anak. Akibatnya anak-anak mereka menjadi
"steril" dengan lingkungannya.

Prodigy Parents --(ORTU INSTANT)
Merupakan kelompok orangtua yang sukses dalam karier namun tidak
memiliki pendidikan yang cukup. Mereka cukup berada, namun tidak berpendidikan yang baik. Mereka memandang kesuksesan mereka di dunia bisnis merupakan bakat semata. Oleh karena itu mereka juga memandang sekolah dengan sebelah mata, hanya sebagai kekuatan yang akan menumpulkan kemampuan anak-anaknya. 'Tidak kalah mengejutkannya, mereka juga memandang anak-anaknya akan hebat dan sukses seperti mereka tanpa memikirkan pendidikan seperti apa yang cocok diberikan kepada anak-¬anaknya.
Oleh karena itu mereka sangat mudah terpengaruh kiat-kiat atau cara unik
dalam mendidik anak tanpa bersekolah. Buku-buku instant dalam mendidik
anak sangat mereka sukai. Misalnya buku tentang "Kiat-Kiat Mengajarkan
bayi Membaca" karangan Glenn Doman, atau "Kiat-Kiat Mengajarkan Bayi
Matematika" karangan Siegfried, "Berikan Anakmu pemikiran Cemerlang "
karangan Therese Engelmann, dan "Kiat-Kiat Mengajarkan Anak Dapat
Membaca Dalam Waktu 6 Hari" karangan Sidney Ledson.

Encounter Group Parents--(ORTU NGERUMPI)
Merupakan kelompok orangtua yang memiliki dan menyenangi pergaulan.
Mereka terkadang cukup berpendidikan, namun tidak cukup berada atau
terkadang tidak memiliki pekerjaan tetap (luntang lantung). Terkadang
mereka juga merupakan kelompok orangtua yang kurang bahagia dalam
perkawinannya. Mereka menyukai dan sangat mementingkan nilai-nilai
relationship dalam membina hubungan dengan orang lain. Sebagai
akibatnya kelompok ini sering melakukan ketidakpatutan dalam mendidik anak-¬anak dengan berbagai perilaku "gang ngrumpi" yang terkadang mengabaikan anak.

Kelompok ini banyak membuang-buang waktu dalam kelompoknya sehingga
mengabaikan fungsi mereka sebagai orangtua. Atau pun jika mereka
memiliki aktivitas di kelompokya lebih berorientasi kepada kepentingan
kelompok mereka. Kelompok ini sangat mudah terpengaruh dan latah untuk memilihkan pendidikan bagi anak-anaknya. Menjadikan anak-anak mereka sebagai "Superkids" juga sangat diharapkan. Namun banyak dari anak-anak mereka biasanya kurang menampilkan minat dan prestasi yang diharapkan. Namun banyak dari anak-anak mereka biasanya kurang menampilkan minat dan
prestasi yang diharapkan.

Milk and Cookies Parents-(ORTU IDEAL)
Kelompok ini merupakan kelompok orangtua yang memiliki masa kanak-kanak
yang bahagia, yang memiliki kehidupan masa kecil yang sehat dan
manis. Mereka cenderung menjadi orangtua yang hangat dan menyayangi
anak-anaknya dengan tulus. Mereka juga sangat peduli dan mengiringi
tumbuh kembang anak-anak mereka dengan penuh dukungan. Kelompok ini
tidak berpeluang menjadi oraugtua yang melakukan "miseducation " dalam
merawat dan mengasuh anak-anaknva. Mereka memberikan lingkungan yang
nyaman kepada anak-anaknya dengan penuh perhatian, dan tumpahan cinta
kasih yang tulus sebagai orang tua. Mereka memenuhi rumah tangga mereka
dengan buku-buku, lukisan dan musik yang disukai oleh anak-anaknya.
Mereka berdiskusi di ruang makan, bersahabat dan menciptakan lingkungan
yang menstimulasi anak-anak mereka untuk tumbuh mekar segala potensi
dirinya. Anak-anak mereka pun meninggalkan masa kanak-kanak dengan penuh
kenangan indah yang menyebabkan. Kehangatan hidup berkeluarga
menumbuhkan kekuatan rasa yang sehat pada anak untuk percaya diri dan
antusias dalam kehidupan belajar. Kelompok ini merupakan kelompok
orangtua yang menjalankan tugasnya dengan patut kepada anak-anak mereka.
Mercka begitu yakin bahwa anak membutuhkan suatu proses dan waktu untuk dapat menemukan sendiri keistimewaan yang dimilikinya.

Dengan kata lain mereka percaya bahwa anak sendirilah yang akan
menemukan sendiri kekuatan didirinya. Bagi mereka setiap anak adalah
benar-benar seorang anak yang hebat dengan kekuatan potensi yang juga
berbeda dan unik !

KAMU HARUS TAHU BAHWA TIADA SATU PUN YANG LEBIH TINGGI, ATAU LEBIH KUAT,
ATAU LEBIH BAIK, ATAU PUN LEBIH BERHARGA DALAM KEHIDUPAN NANTI DARIPADA
KENANGAN INDAH TERUTAMA KENANGAN MANIS DI MASA KANAK-KANAK.
KAMU MENDENGAR BANYAK HAL TENTANG PENDIDIKAN, NAMUN BEBERAPA HAL YANG INDAH,
KENANGAN BERHARGA YANG TERSIMPAN SEJAK KECIL ADALAH MUNGKIN ITU PENDIDIKAN YANG TERBAIK.
APABILA SESEORANG MENYIMPAN BANYAK KENANGAN INDAH DI MASA KECILNYA, MAKA KELAK SELURUH KEHIDUPANNYA AKAN
TERSELAMATKAN.
BAHKAN APABILA HANYA ADA SATU SAJA KENANGAN INDAH YANG
TERSIMPAN DALAM HATI KITA, MAKA ITULAH KENANGAN YANG AKAN MEMBERIKAN SATU HARI UNTUK KESELAMATAN KITA"
-DESTOYEVSKY' S BROTHERS KARAM0Z0V---

PERSPEKTIF SEKOLAH YANG MENGKARBIT ANAK
Kecenderungan sekolah untuk melakukan pengkarbitan kepada anak didiknya juga terlihat jelas. Hal ini terjadi ketika sekolah berorientasi kepada produk
daripada proses pembelajaran. Sekolah terlihat sebagai sebuah
"Industri" dengan tawaran-tawaran menarik yang mengabaikan kebutuhan
anak. Ada program akselerasi, ada program kelas unggulan. Pekerjaan
rumah yang menumpuk.

Tugas-tugas dalam bentuk hanya lembaran kerja. Kemudian guru-guru yang
sibuk sebagai "Operator kurikulum" dan tidak punya waktu mempersiapkan
materi ajar karena rangkap tugas sebagai administrator sekolah Sebagai
guru kelas yang mengawasi dan mengajar terkadang lebih dari 40 anak,
guru hanya dapat menjadi "pengabar isi buku pelajaran " ketimbang
menjalankan fungsi edukatif dalam menfasilitasi pembelajaran. Di
saat-saat tertentu sekolah akan menggunakan "mesin-mesin dalam menskor"
capaian prestasi yang diperoleh anak setelah diberikan ujian berupa
potongan-potongan mata pelajaran. Anak didik menjadi dimiskinkan dalam
menjalani pendidikan di sekolah. Pikiran mereka diforsir untuk
menghapalkan atau melakukan tugas-tugas yang tidak mereka butuhkan
sebagai anak. Manfaat apa yang mereka peroleh jika guru menyita anak
membuat bagan organisasi sebuah birokrasi? Manfaat apa yang dirasakan
anak jika mereka diminta membuat PR yang menuliskan susunan kabinet yang ada di pemerintahan? Manfaat apa yang dimiliki anak jika ia disuruh
menghapal kalimat-kalimat yang ada di dalam buku pelajaran ? Tumpulnya
rasa dalam mencerna apa yang dipikirkan oleh otak dengan apa yang
direfleksikan dalam sanubari dan perilaku-perilaku keseharian mereka
sebagai anak menjadi semakin senjang. Anak-anak tahu banyak tentang
pengetahuan yang dilatihkan melalui berbagai mata pelajaran yang ada
dalam kurikulum persekolahan, namun mereka bingung mengimplementasikan dalam kehidupan nyata. Sepanjang hari mereka bersekolah di sekolah untuk
sekolah--dengan tugas-tugas dan PR yang menumpuk.... Namun sekolah
tidak mengerti bahwa anak sebenarnya butuh bersekolah untuk menyongsong
kehidupannya !

Lihatlah, mereka semua belajar dengan cara yang sama. Membangun 90 %
kognitif dengan 10 % afektif. Paulo Freire mengatakan bahwa sekolah
telah melakukan "pedagogy of the oppressed" terhadap anak-anak didiknya.
Dimana guru mengajar anak diajar, guru mengerti semuanya dan anak tidak
tahu apa-apa, guru berpikir dan anak dipikirkan, guru berbicara dan anak
mendengarkan, guru mendisiplin dan anak didisiplin, guru memilih dan
mendesakkan pilihannya dan anak hanya mengikuti, guru bertindak dan anak
hanya membayangkan bertindak lewat cerita guru, guru memilih isi program
dan anak menjalaninya begitu saja, guru adalah subjek dan anak adalah
objek dari proses pembelajaran (Freire, 1993). Model pembelajaran
banking system ini dikritik habis-habisan sebagai masalah kemanusiaan
terbesar. Belum lagi persaingan antar sekolah. dan persaingan ranking
wilayah....

Mengkompetensi Anak--- merupakan `KETIDAKPATUTAN PENDIDIKAN?"
"Anak adalah anugrah Tuhan... sebagai hadiah kepada semesta alam, tetapi
citra anak dibentuk oleh sentuhan tangan-tangan manusia dewasa yang
bertanggungjawab. .." (Nature versus Nurture).
bagaimana ? Karena ada dua pengertian kompetensi-- -= ` kompetensi yang
datang dari kebutuhan di luar diri anak (direkayasa oleh orang dewasa)
atau kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan dari dalam diri anak
sendiri.

Sebagai contoh adalah konsep kompetensi yang dikemukakan oleh John
Watson (psikolog) pada tahun 1920 yang mengatakan bahwa bayi dapat
ditempa menjadi apapun sesuai kehendak kita sebagai komponen sentral
dari konsep kompetensi. Jika bayi-bayi mampu jadi pebelajar, maka mereka
juga dapat dibentuk melalui pembelajaran dini.

Kata-kata Watson yang sangat terkenal adalah sebagai berikut: "Give me a
dozen healthy infants, well formed and my own special world to bring
them up in, and I'll guarantee you to take any one at random and train
him to become any type of specialist I might select--doctor, lawyer,
artist, merchant chief and yes, even beggar and thief regardless of this
talents, penchants.,; , tendencies, vocations, and race of his ancestors
".
Pemikiran Watson membuat banyak orang tua melahirkan "intervensi dini"
setelah mereka melakukan serangkaian tes Inteligensi kepada anak-anaknya. Ada sebuah kasus kontroversi yang terjadi di Institut New
Jersey pada tahun 1976. Dimana guru-guru melakukan serangkaian program
tes untuk mengukur "Kecakapan Dasar Minimum (Minimum Basic Skill)" dalam mata pelajaran membaca dan matematika. Hasil dari
pelaksanaan program ini dilaporkan kolomnis pendidikan Fred Hechinger kepada New York Times sebagai berikut :

`The improvement in those areas were not the result of any magic program
or any singular teaching strategy, they were... simply proof that
accountability is crucial and that, in the past five years, it has paid off in New
Yersey'.

Juga belajar dari biografi tiga orang tokoh legendaris dunia seperti
Eleanor Roosevelt, Albert Einstein dan Thomas Edison, yang diilustrasikan
sebagai anak-anak yang bodoh dan mengalami keterlambatan dalam akademik
ketika mereka bersekolah di SD kelas rendah. Semestinya kita dapat
menyimpulkan bahwa pendidikan dini sangat berbahaya jika dibuatkan
kompetensi-kompeten si perolehan pengetahuan hanya secara kognitif.
Ulah karena hingga hari ini sekolah belum mampu menjawab dan dapat
menampilkan kompetensi emosi sosial anak dalam proses pembelajaran.
Pendidikan anak seutuhnya yang terkait dengan berbagai aspek seperti
emosi, sosial, kognitif pisik, dan moral belum dapat dikemas dalam
pembelajaran di sekolah secara terintegrasi. Sementara pendidikan sejati
adalah pendidikan yang mampu melibatkan berbagai aspek yang dimiliki
anak sebagai kompetensi yang beragam dan unik untuk dibelajarkan. Bukan
anak dibelajarkan untuk di tes dan di skor saja !. Pendidikan sejati
bukanlah paket-paket atau kemasan pembelajaran yang berkeping-keping,
tetapi bagaimana secara spontan anak dapat terus menerus merawat minat
dan keingintahuan untuk belajar. Anak mengenali tumbuh kembang yang
terjadi secara berkelangsungan dalam kehidupannya. Perilaku
keingintahuan -"curiosity" inilah yang banyak tercabut dalam sistem
persekolahan kita.

Akademik Bukanlah Keutuhan Dari Sebuah Pendidikan ! "Empty Sacks will
never stand upright"---George Eliot

Pendidikan anak seutuhnya tentu saja bukan hanya mengasah
kognitif melalui kecakapan akademik semata! Sebuah pendidikan yang utuh akan membangun
secara bersamaan, pikiran, hati, pisik, dan jiwa yang dimiliki anak didiknya.
Membelajarkan secara serempak pikiran, hati. dan pisik anak akan
menumbuhkan semangat belajar sepanjang hidup mereka. Di sinilah
dibutuhkannya peranan guru sebagai pendidik akademik dan pendidik
sanubari "karakter". Dimana mereka mendidik anak menjadi "good and smart
"-terang hati dan pikiran.

Sebuah pendidikan yang baik akan melahirkan "how learn to learn" pada
anak didik mereka. Guru-guru yang bersemangat memberi keyakinan kepada
anak didiknya bahwa mereka akan memperoleh kecakapan berpikir tinggi,
dengan berpikir kritis, dan cakap memecahkan masalah hidup yang mereka
hadapi sebagai bagian dari proses mental. Pengetahuan yang terbina
dengan baik yang melibatkan aspek kognitif dan emosi, akan melahirkan
berbagai kreativitas.

Leonardo da Vinci
seorang pelukis besar telah menghabiskan waktunya ber
jam-jam untuk belajar anatomi tubuh manusia.

Thomas Edison mengatakan bahwa "genius is 1 percent inspiration and 99
percent perspiration ". Semangat belajar ---"encourage' - Tidak dapat
muncul tiba-tiba di diri anak. Perlu proses yang melibatkan
hati---kesukaan dan kecintaan--- belajar. Sementara di sekolah banyak
anak patah hati karena gurunya yang tidak mencintai mereka sebagai anak.

Selanjutnya misi sekolah lainnya yang paling fundamental adalah
mengalirkan "moral litermy" melalui pendidikan karakter. Kita harus ingat bahwa
kecerdasan saja tidak cukup. Kecerdasan plus karakter inilah tujuan
sejati sebuah pendidikan (Martin Luther King, Jr). lnilah keharmonisan
dari pendidikan, bagaimana menyeimbangkan fungsi otak kiri dan
kanan, antara kecerdasan hati dan pikiran, antara pengetahuan yang
berguna dengan perbuatan yang baik .....

PENUTUP
Mengembalikan pendidikan pada hakikatnya untuk menjadikan manusia yang terang hati dan terang pikiran--- "good and smart "--- merupakan tugas
kita bersama. Melakukan reformasi dalam pendidikan merupakan kerja keras yang mesti dilakukan secara serempak, antara sekolah dan masyarakat,
khususnya antara guru dan orangtua. Pendidikan yang ada sekarang ini banyak yang tidak berorientasi kepada kebutuhan anak sehingga tidak
dapat memekarkan segala potensi yang dimiliki anak. Atau pun jika ada yang terjadi adalah ketidakseimbangan yang cenderung memekarkan aspek
kognitif dan mengabaikan faktor emosi.

Begitu juga orangtua. Mereka berkecenderungan melakukan training dini kepada anak. Mereka ingin anak-anak mereka menjadi "SUPERKIDS". Inilah
fenomena yang sedang trend akhir-akhir ini. Inilah juga awal dari lahirnya era anak-anak karbitan ! Lihatlah nanti...ketika anak-anak
karbitan itu menjadi dewasa, maka mereka akan menjadi orang dewasa yang ke kanak-kanakan.

Hidup itu menciut
Dan mengerdil
Bagaikan selokan kecil
Bila dilepas bebas
la merah menggejolak
Bagaikan dahsyatnva samudera luas

"Destiny is not a matter of chance, it is a matter of choice; it is not a thing to be waited for, it is a thing to be achieved."
(William Jennings Bryan )

e-mail dari tante Ami.. tantenya neng Aya..
--------------------------------------------------------------------

Sebelum membaca email ini pun kami tidak pernah berencana menyekolahkan Aya di usia dini biarlah dia sekolah aja d rumah dgn bunda, ayah, oma, ateu sebagai gurunya.

Trus rencananya sih ntr Aya teka setaun aja baru masuk esde. Usia 4th-an mau di masukin sanggar, teserah aya mau pilih yg mana.. menggambar, menari, teater, musik pokonya mah teserah aya, selain sanggar aya mau kita ikutin kelas aikido. kl ini mah rencana sejak aya masih di dalam perut.. hehehe...

Semoga rencana berjalan sesuai harapan.. :)

28 comments:

  1. Setujuh.. My mom said, she is kindergarten teacher.. Na, gak usah buru-buru.. Ajarkan anak sesuai dengan perkembangan umurnya, gak usah dipaksakan...
    Anak akan tumbuh sesuai umurnya...

    Btw, postingan-nya panjang amat bun:-D

    ReplyDelete
  2. iya mba nana aku jg setuju sama ibunya mba nana... biarkan anak tumbuh sesuai dgn umurnya..
    kl aya sih walo jrg main di luar rumah dia ga kuper, kl diajak jln2 ktemu temen sesama anak kecil lgsg tu dikejar trus ngajakin salaman.. hihihi... berarti kemampuan bersosialisasinya bagus kan..?

    tau ni tante Ami emailnya panjang amat.. kekekeke..

    ReplyDelete
  3. teh ratih, saya pernah bahas ini ama kakak ipar...
    jaman sekarang emang sekolah2 kok rasanya kebangeten yah...masa anak playgrup aja dah ada ujian (tes harian) bahasa inggris segala. trus saya bilang, saya maunya ikutin Nicholas di preschool yang isinya maen2 aja, buat having fun aja. trus saya gantian ditanya : lha ntar kalo udah jamannya masuk TK, masuk SD, kan preschool yang itu gak ada lanjutannya, kamu mau masukin ke TK or SD laen, kalo anak kamu gak bisa sendiri, yang laen2 pada bisa, kamu mo gimana? apa anaknya gak malu ama temen2 ? Iya kalo gak mutung, kalo jadinya malah mutung gimana? kan tetep aja kudu ngikuti perkembangan sekolah kan?
    hu..hu..hu..jaman emang tambah edan yah, teh...

    ReplyDelete
  4. di kampung saya di cilacap..ada PAUD islami..
    bener2 islami...yg diajarkan akhlak sehari2 dan ibadah tentunya..
    subhanallaah..sy salut deh..ntah gimana cara ngajar guru2 itu
    anaknya jadi manut2

    menurut cerita ibu sy..
    contohnya nih : ada anak tiga tahun, kalau makan selalu habis..taukan apa alasan dia..?? karena berkahnya bisa jadi di makanan yg terakhir kita makan...dan itu selalu diterapkan olehnya..subhanallaah yaa...

    juga makan selalu dengan tangan kanan, memulai sesuatu dengan doa..
    dan itu bener2 diterapkan dlm kehidupan sehari2..

    ReplyDelete
  5. di kampung saya di cilacap..ada PAUD islami..
    bener2 islami...yg diajarkan akhlak sehari2 dan ibadah tentunya..
    subhanallaah..sy salut deh..ntah gimana cara ngajar guru2 itu
    anaknya jadi manut2

    menurut cerita ibu sy..
    contohnya nih : ada anak tiga tahun, kalau makan selalu habis..taukan apa alasan dia..?? karena berkahnya bisa jadi di makanan yg terakhir kita makan...dan itu selalu diterapkan olehnya..subhanallaah yaa...

    juga makan selalu dengan tangan kanan, memulai sesuatu dengan doa..
    dan itu bener2 diterapkan dlm kehidupan sehari2..

    ReplyDelete
  6. wahh... baru tadi pagi aku ngobrol sama temenku, parameter n tingkat keberhasilan pendidikan anak2 sekarang lebih ditekankan hasil nilai bagus, padahal jaman aku kecil dulu justru tingkat kerativitas juga pendukung utama, hiksss.. jamannya jibran nanti gimana ya?

    ReplyDelete
  7. iyah aku denger cerita temen juga nelangsa.. kurikulumnya berat bgt.. setara kurikulum kelas 4 sd.. gila kan..?
    apalgi aya lahir oktober ni mba jg ga buru2 deh nyekolahin soalnya masuk ke usia tanggung jd dbawa santai aja biar puas main2 dulu.. hehehe...

    salam buat niko mbaa... :)

    ReplyDelete
  8. kaya TPA ya mba..
    sama guru aja bisa manut2 gitu apalgi kl sama bundanya sendiri.. hihihi...

    ReplyDelete
  9. bacanya musti pelan2... diresapi... makasih ya sharingnya....

    ReplyDelete
  10. kl parameternya udh nilai ujung2nya sekolah ya biar naik kelas, biar lulus.. bukan biar enjoy, biar bisa bersosialisasi, biar bisa belajar empati..

    jamannya jibran ma aya ya ortunya jgn berorientasi ke nilai.. biarkan aja anak sekolah dgn tujuan mencari ilmu (bukan nilai) dan belajar bersosialisasi.. balance IQ, EQ dan SQ.. deuuhh beraaatth..!!

    ReplyDelete
  11. hihihi.. emg ribet bacanya, panjang siih :D

    ReplyDelete
  12. "Milk and Cookies Parents-(ORTU IDEAL)
    Kelompok ini merupakan kelompok orangtua yang memiliki masa kanak-kanak
    yang bahagia, yang memiliki kehidupan masa kecil yang sehat dan
    manis. Mereka cenderung menjadi orangtua yang hangat dan menyayangi
    anak-anaknya dengan tulus. Mereka juga sangat peduli dan mengiringi
    tumbuh kembang anak-anak mereka dengan penuh dukungan. Kelompok ini
    tidak berpeluang menjadi oraugtua yang melakukan "miseducation " dalam
    merawat dan mengasuh anak-anaknva. Mereka memberikan lingkungan yang
    nyaman kepada anak-anaknya dengan penuh perhatian, dan tumpahan cinta
    kasih yang tulus sebagai orang tua. Mereka memenuhi rumah tangga mereka
    dengan buku-buku, lukisan dan musik yang disukai oleh anak-anaknya.
    Mereka berdiskusi di ruang makan, bersahabat dan menciptakan lingkungan
    yang menstimulasi anak-anak mereka untuk tumbuh mekar segala potensi
    dirinya. Anak-anak mereka pun meninggalkan masa kanak-kanak dengan penuh
    kenangan indah yang menyebabkan. Kehangatan hidup berkeluarga
    menumbuhkan kekuatan rasa yang sehat pada anak untuk percaya diri dan
    antusias dalam kehidupan belajar. Kelompok ini merupakan kelompok
    orangtua yang menjalankan tugasnya dengan patut kepada anak-anak mereka.
    Mercka begitu yakin bahwa anak membutuhkan suatu proses dan waktu untuk dapat menemukan sendiri keistimewaan yang dimilikinya.

    Dengan kata lain mereka percaya bahwa anak sendirilah yang akan
    menemukan sendiri kekuatan didirinya. Bagi mereka setiap anak adalah
    benar-benar seorang anak yang hebat dengan kekuatan potensi yang juga
    berbeda dan unik !"

    s e t u j u.. yang inih...
    btw lucu juga yaa istilahnya : ortu ideal = milk n cookies parents..

    bararti ortu ideal harus pinter bikin cookies..

    ReplyDelete
  13. yaah aku ga bisa bikin mba... kirimin aja deh.. katanya mba hani mau bikin brownies kukus kan..? skalian aja bikin cookies. hihihi...

    ReplyDelete
  14. yaah aku ga bisa bikin mba... kirimin aja deh.. katanya mba hani mau bikin brownies kukus kan..? skalian aja bikin cookies. hihihi...

    ReplyDelete
  15. Terus terang baca tulisan Dewi Utami Faizah ini hati saya tergelitik, saya kurang bisa melihat apa yg dimaui penulis, sebetulnya apa sih yg ingin disampaikan penulis? yang dimaksud anak-anak disini anak umur berapa? Balita? Usia SD? mengkritik siapa? para orangtua, guru atau sistem pendidikan kita? Karena ketiga hal ini merupakan mata rantai pendidikan terhadap anak secara menyeluruh. Toh kalaupun beliau mengkritik ketiga hal tersebut , saya merasa kupasannya kurang tuntas - kurang terlihat dalam tulisan ini solusi yg ditawarkan.

    Saya kurang setuju dengan opini penulis "Kecenderungan orangtua menjadikan anaknya "be special " daripada "be average or normal sernakin marak terlihat. Orangtua sangat ingin
    anak-anak mereka menjadi "to exel to be the best". Sebetulnya tidak ada yang salah. Namun ketika anak-anak mereka digegas untuk mulai mengikuti
    berbagai kepentingan orangtua untuk menyuruh anak mereka mengikuti beragam kegiatan, seperti kegiatan mental aritmatik, sempoa, renang,
    basket, balet, tari ball, piano, biola, melukis, dan banyak lagi lainnya...maka lahirlah anak-anak super---"SUPERKIDS' ".

    Kesan saya , penulis kurang setuju anak mengikuti beragam kegiatan. Saya rasa sih sah - sah saja memberi fasilitas untuk anak-anak itu berupa kesempatan untuk les ini itu "AS LONG AS" sang anak memang BERMINAT dg les yang akan diikutin tersebut, TIDAK TERTEKAN dan FUN. Justru menurut hemat saya, dg memberi kesempatan seperti itu kita sedang membantu anak-anak untuk mengembangkan potensi seraya mengenali potensi yang ada dlm diri anak-anak tsb. Justru ini menjadi hal yang paling penting dalam mendidik anak-anak tentunya sekali lagi memperhatikan aspek emosional dan perasaan anak anak.

    Contoh nyatanya saya, saya suka art & musik sejak kecil, sayang orang tua saya tidak bisa melihat potensi saya ini. Dan saya menyadarinya pun sudah terlambat sekali. Sewaktu saya kuliah. It's too late buat saya untuk belajar piano or memetik gitar, 2 alat musik yg mampu membuat saya merelease stress saya. Mungkin seandainya saya belajar dari kecil dan jari jari saya belum kaku, saat ini mungkin saja petikan gitar saya dapat saya banggakan.

    Mengenai ikut lomba in lomba itu, wah bu..jangan salah ini salah satu wahana untuk mengasah kepercayaan diri dlm diri anak-anak tersebut - salah satu bekal untuk Creative juga kan? dengan catatan anaknya memang menyukai dan berminat lo ya.

    Tidak perlu jauh - jauh, contohnya anak saya yang masih duduk di bangku TK nol Besar. Pada suatu acara, di sekolahnya mengadakan lomba fashion show untuk murid murid TK tsb. Beberapa hari sebelumnya Alya sudah sibuk menyiapkan baju yang akan dipakai, sibuk berlatih bak peragawati dsb dsb. Tentu saja saya sebagai ortu yang baik,merasa bertanggungjawab untuk mendukung minat Alya tsb. Mungkin alya ingin tahu gimana rasanya menjadi fokus perhatian publik?"

    Untuk endingnya saya setuju sekali dg apa yang digagas penulis
    "Sebuah pendidikan yang baik akan melahirkan "how learn to learn" pada
    anak didik mereka. Guru-guru yang bersemangat memberi keyakinan kepada
    anak didiknya bahwa mereka akan memperoleh kecakapan berpikir tinggi,
    dengan berpikir kritis, dan cakap memecahkan masalah hidup yang mereka
    hadapi sebagai bagian dari proses mental. Pengetahuan yang terbina
    dengan baik yang melibatkan aspek kognitif dan emosi, akan melahirkan
    berbagai kreativitas"

    ReplyDelete
  16. thanks for sharing ya mba.. Copas boleh ngga?
    Sekedar sharing nih, luna sekarang (20 bln) udh ikut babyclass dan she looks happy & menikmati sekali. Setiap pulang dr "sekolah" wajahnya berseri-seri lantas menirukan apa aja yg diajarkan aunties-nya saat itu. Kebetulan juga cuma 2x/minggu @ 1 jam, bagi saya itu pas juga aktivitas di kelas sesuai bagi anak seumur dia.
    Rencananya 2 thn nanti mau masuk prasekolah tp setelah cari2 informasi baik dr sekolah2 yg dituju maupun dr teman2 jujur membuat saya mundur teratur. Saya nggak mau luna terbebani dengan setumpuk PR dan masuk 3-4x/minggu @2 jam. Saya rasa belum waktunya. Tapi belum bisa memutuskan juga apakah akan memberikan pendidikan dini/tidak utk luna. Dl saya masuk TK juga pada usia dini 3 thn toh saya juga ngga merasa sebagai anak karbitan =D

    Saya rasa orang tua yang baik adalah orang tua yang bisa mengenali potensi anak sejak dini lalu memberikan fasilitas yang menunjang tanpa ada unsur paksaan.
    Pendidikan dini emang dilema tapi sekali lagi orang tua yang harus jeli & mengerti benar tentang hal tersebut. Kalau memutuskan utk tidak memberikan pendidikan dini diluar rumah berarti harus yakin mampu bisa "mengajari" anak dan memberikan lingkungan sosial yang baik sehingga pada saatnya mereka masuk sekolah nggak kaget. Sedangkan yang memutuskan utk memberikan pendidikan dini harus tahu benar tujuannya apa, aktivitas apa, kurikulum bagaimana dan waktu yang paling tepat utk anak. Jangan sampai anak yg lebih suka kegiatan fisik dimasukkan ke prasekolah yg harus duduk 2 jam di kelas atau sebaliknya.

    ReplyDelete
  17. @Teh Luky
    akhirnya setelah di towel-towel komen juga ni si teteh..

    pasti ya teh setiap wacana selalu ada pro dan kontra.. dan pastinya juga ortu selalu mau yg terbaik buat anaknya.. ada yg tidak mau menyekolahkan sedini mungkin tapi ada juga yg ingin menyekolahkan anaknya di usia yg cukup (usia teka).

    intinya mah setiap ortu pasti punya kebijakan masing2 dalam memberikan pendidikan yg terbai buat anaknya.. :)

    ReplyDelete
  18. bener bgt mama luna.. jgn sampe anak malah mengalami keterpaksaan menjalani aktivitasnya...

    setuju saya... :) mau copas..? monggoo... :)

    ReplyDelete
  19. salam kenal. Makasih banyak ni sharingnya.
    MEmang bener pada akhirnya semua balik pada kebijakan masing masing. Tapi saya lagi nyari jawaban lho ini. Apa yang baik dan tidak baik diberikan pada usia dini. Untuk mencari jawaban itu, saya nggak mau denger komen 'kembali pada kepercayaan masing2', krn saya masih belum menentukan 'kepercayaan' yang mana. Anggap saja saya atheis nih, tolong deh kasih sharing tentang 'agama'nya masing masing, hehe.. soalnya saya jadi bingung banget mo menerapkan yg bagaimana. Skarang sih saya lumayan gencar ngasih stimulasi ini itu ke bayiku, tapi saya bakal berhenti kalo dia kelihatan stress, dan memperpanjang kalo dia malah keliatan hepi, itu aja sih batasan saya sejauh ini. Wallahu a'lam

    ReplyDelete
  20. kl aku sih sama suami emang udah sepakat dari jaman hamil dulu kl ga mau nyekolahin di usia dini. toh rumah itu kan merupakan sekolah yg terbaik jadi kami mengusahakan memberikan berbagai fasilitas di rumah.. kaya buku-buku, flash card, ato mainan, yah pokonya gitu deh... stimulasi yang terbaik kan pasti stimulasi dari bundanya/rumah...

    kl saya sih gituu... hehehehe..

    ReplyDelete
  21. ra.. mending elo cerita ke g dah ini isinya apaan siy.. pusing bacanyah ;)) hihihi ... tapi kalo baca komentar2 gak usah disekolahin dulu yak...

    ReplyDelete
  22. ekaaa.. lu tu yah kebiasaan males baca yg puanjang2.. :P
    ho oh skola aja drumah beliin perosotan. heuheuheu...

    ReplyDelete
  23. Kalo sekolah niatnya cuma maen plossotan mah.. mending tunggu sekolahan bubar aja ra ;))

    ReplyDelete
  24. setelah baca artikelnya rara.. *fiuh.. akhirnya* trus jadi iseng2 nyari artikel lain.. *ini suatu ketumbenan yang amat sangat*.. akhirnya nemu ini ra...
    Masukkan anak ke preschool bila:
    1. Anda harus kerja fulltime dirumah tdk ada orang yang bisa dipercaya.
    2. Anak merasa nyaman jika anda ajak bersosialisasi, termasuk ke preschool
    yang dituju.
    3. Secara usia sudah mencukupi. Anak di bawah 2 taun belum perlu masuk
    preschool.
    4. Anda sudah mengenal dengan baik preschool yang dimaksud.


    Anda bisa memilih belajar dirumah jika:
    1. Anda yakin ada orang yang bisa dipercaya untuk mengasuh dan
    membimbing anak dirumah.
    2. Anda sudah menyiapkan beragam program dengan terencana dan matang.
    3. Si kecil mempunyai lingkungan rumah yang kondusif. Ada teman bermain
    seusia serta aneka perlengkapan yang mendukung.
    4. Anak tidak disarankan menjalani terapi khusus.

    ReplyDelete
  25. wuiihh mantaabb..!!! canggih mak..! setujuh.. setujuuh...

    gw lagi masak sayur bayem nii.... :P

    ReplyDelete
  26. good... saya suka dengan ungkapan artikel diatas,, banyak persepsi dan teori pendidikan,,, tapi yang terpenting adalah kerjasama antara orang tua, lingkungan dan pendidik di sekolah.. untuk pendidikan karakter guru, orang tua dan lingkungan sangat berpengaruh,, tapi sebagai orang tua saya menyadarai waktu anak lebih banyak dengan orang tua sehingga karakter anak sangan dipengaruhi dengan pendikan diruamah.. jadi maksimalkan kebersamaan kita dengan anak, jika dia masih kanak kanak maka sebaiknya kita bermain dengan mereka, jika anak sudah dewasa ajak mereka lebih terbuka dan selalu share tentang apa saja yang terjadi dengan mereka,, dengan mendengarkan mereka maka anak akan menjadi pribadi yang perduli.

    ReplyDelete